JAKARTA -(dwklarasinews.com)– Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal memaparkan sejumlah tantangan fiskal yang dihadapi Provinsi Lampung dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR RI dan Menteri Dalam Negeri di Jakarta, Selasa (29/4).
Dalam forum yang dihadiri pimpinan dan anggota Komisi II DPR, Wakil Menteri Dalam Negeri, Ribka Hanuk, serta jajaran pejabat Kemendagri, Gubernur Mirza menyoroti ketimpangan dalam struktur belanja daerah, pertumbuhan ekonomi, kondisi fiskal yang masih bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat, yakni Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Meskipun begitu, Pemerintah Provinsi Lampung, menurut Mirza, terus memperkuat percepatan pembangunan sebagai upaya konkret mewujudkan visi “Lampung Maju”.
Gubernur Mirza mengakui meskipun Lampung memiliki potensi ekonomi dan demografi yang besar, namun realisasi PAD masih tergolong rendah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
“Lampung merupakan provinsi terpadat kedua di Sumatera setelah Sumatera Utara, dengan jumlah penduduk mencapai 9,4 juta jiwa. Namun, pertumbuhan ekonomi kami dalam beberapa tahun terakhir tidak pernah melampaui rata-rata nasional,” ujar Gubernur Mirza.
Ia menjelaskan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Lampung pada tahun 2024 tercatat sebesar Rp483,8 triliun dan menjadi yang keempat terbesar di Pulau Sumatera.
Tiga sektor utama yang menopang PDRB tersebut adalah pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan yang menyumbang sebesar 59,39 persen.
Meskipun demikian, Gubernur Mirza mengungkapkan, rasio Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terhadap jumlah penduduk di Lampung merupakan yang terendah di Sumatera.
“Total APBD seluruh kabupaten dan kota di Lampung mencapai sekitar Rp32 triliun, namun hanya sekitar 6 persen berasal dari PAD. Di tingkat provinsi, PAD tahun 2024 mencapai 59 persen dari total APBD sebesar Rp8,3 triliun,” jelasnya.
Mirza juga menyampaikan, dari 15 kabupaten/kota di Lampung, sebanyak 10 hingga 11 daerah memiliki PAD di bawah 10 persen, bahkan ada yang hanya mencapai 3 persen.
“Ekonomi hidup, tetapi PAD kami kecil,” tambahnya.
Lebih lanjut, Gubernur Mirza menyoroti ketimpangan dalam struktur belanja daerah, khususnya belanja pegawai yang menyerap porsi besar dari anggaran daerah.
“Ada satu kabupaten yang belanja pegawainya mencapai 80 persen dari total APBD. Bahkan setelah mengikuti kewajiban mandatori, total belanjanya menjadi 105 persen, sehingga tidak ada ruang untuk belanja lainnya,” katanya.
Kondisi ini, menurutnya, menyebabkan sebagian besar kondisi fiskal pemerintah daerah di Lampung sangat bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat, yakni Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).
“Dari total belanja daerah sebesar Rp7,5 triliun, hanya sekitar Rp1,2 triliun yang bisa dialokasikan untuk belanja modal, sementara kebutuhan daerah sangat besar, termasuk untuk infrastruktur jalan sepanjang 1.700 kilometer dan pelayanan kepada 9,4 juta penduduk,” jelas Mirza.
Ia juga menyinggung minimnya kontribusi fiskal dari aktivitas ekonomi besar yang berlangsung di wilayah Lampung, seperti pengiriman batu bara dan kegiatan ekspor-impor melalui pelabuhan.
Mirza menambahkan, Lampung juga tidak memiliki sumber daya tambang yang signifikan untuk mendongkrak PAD seperti halnya beberapa provinsi lain di Sumatera.
“Kami belum memiliki cara yang efektif untuk meningkatkan PAD secara signifikan. Sumber daya tambang tidak tersedia, dan meskipun kami dilalui alur distribusi komoditas, manfaat fiskal langsung hampir tidak ada,” pungkasnya.
Ketua Komisi II DPR-RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menjelaskan bahwa agenda utama Raker dan RDP yang diselenggarakan secara hybrid ini adalah membahas isu-isu strategis terkait penyelenggaraan pemerintahan daerah. Fokus diskusi mencakup dana transfer pusat ke daerah, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), strategi penguatan perekonomian daerah, serta pengelolaan kepegawaian.
Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Hanuk, dalam kesempatan tersebut, memberikan penekanan kepada seluruh daerah terkait penguatan sistem pengawasan penggunaan Dana Desa dan Anggaran Dana Desa, serta peningkatan BLUD. (Red)