Warga Pesisir Barat Kecewa atas Keputusan Konstatering Tanah Sengketa

PESIBAR -(deklarasinews.com)- Salah satu tokoh masyarakat, Sartono, menjelaskan di kediamannya bahwa hasil dari konstatering beberapa hari yang lalu menunjukkan dengan jelas bahwa objek yang disengketakan tidak ada. Dia menegaskan bahwa hibah tersebut adalah sebidang persawahan, sesuai dengan keputusan Pengadilan Negeri Liwa nomor 06/Pdt.G/2010/PN.Lw dan putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang nomor 34/Pdt/2010/PT TJK, tertanggal 5 Desember 2011. Keputusan tersebut telah ditandatangani oleh beberapa saksi. Namun, dalam konstatering terbaru (nomor 2/Pdt.Eks/Konst/2024/PN.Liw), keputusan Pengadilan Liwa malah menunjukkan adanya sebidang tanah yang sangat tidak sesuai dengan surat hibah yang ada, sehingga menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat tergugat.

“Kami berharap Ketua Pengadilan Liwa dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya. Kami sebagai masyarakat tergugat telah membela hak kami sejak sidang pertama tahun 2010, karena hibah yang diberikan kepada penggugat, saudara Harun, adalah sebidang persawahan, namun kenyataannya berbeda dengan berita acara Pengadilan Negeri Liwa beberapa waktu lalu,” ungkap Sartono.

Sartono juga mengungkapkan adanya kejanggalan dalam pelaksanaan konstatering tanah. “Pada awalnya, kami melihat penggugat, saudara Harun, sangat kebingungan saat memasang patok tanda tapal batas. Banyak kesalahan dalam penempatan patok dan batas. Semua masyarakat menjadi saksi bahwa patok yang dipasang tidak sesuai dengan lokasi lahan persawahan yang tercantum dalam surat hibah (milik saudari Mardiyah). Yang lebih mencengangkan, tanah milik masyarakat yang tidak termasuk dalam objek sengketa malah dimasukkan dalam klaim penggugat, padahal batas-batasnya sangat jelas dan tidak ada keraguan, karena tanah tersebut sudah lama ditanami pohon pinang sejak zaman dahulu,” ungkap Sartono.

Pada waktu yang sama, awak media menemui saudara Ramadan Yusuf Afif (Yusuf), salah satu ahli waris yang tanahnya diklaim sebagai objek sengketa oleh penggugat dan telah dipasang patok tanpa sepengetahuan pemilik lahan. Yusuf mendengar kabar dari salah satu saudara tentang kegiatan konstatering di lingkungan Gunung Sari dan sudah menduga bahwa ini terkait dengan sengketa tanah yang sudah berlangsung lama.

Ketika awak media memperlihatkan lokasi patok yang dipasang oleh penggugat, saudara Yusuf terkejut. Tanah yang telah dimiliki keluarganya sejak zaman kakek-kakeknya kini diklaim sebagai objek sengketa oleh penggugat. Yusuf menyatakan bahwa dia tidak terima dan akan mencabut patok serta tapal batas yang dipasang oleh penggugat di tanah mereka. “Kami bisa membuktikan kepemilikan tanah ini dengan surat-surat yang berasal dari nenek moyang kami,” kata Yusuf.

Yusuf juga menegaskan kepada masyarakat, “Jika saya diamkan atau tidak mencabut patok itu, berarti saya sebagai ahli waris dari nenek moyang saya menerima bahwa itu tanah milik penggugat. Oleh karena itu, saya akan bertindak dan mencabut semua patok yang ada di area tanah keluarga kami, untuk menunjukkan bahwa kami adalah pemilik sahnya. Kami dapat membuktikan dengan surat-surat dan batas-batasnya, yang masih ada hingga sekarang.”

Yusuf menjelaskan bahwa tanah tersebut telah dimiliki keluarganya sejak tahun 1906. “Tanah ini dibeli oleh moyang saya, Kroei, dari saudara Noermasif berdasarkan surat jual beli tertanggal 22 Februari 1906, yang diketahui oleh Kepala Kampung Kota Krui, Nazrul Hak, dan Pimpinan Kecamatan Pesisir Tengah, Jucuf Syafar, pada waktu itu. Pada tahun 1937, tanah ini dibuka menjadi sawah oleh almarhum paman ayah saya, Ibrahim, berdasarkan surat keterangan Maimanah Saleh (Ahli Waris Noermasif) tertanggal 4 Juni 1970,” jelas Yusuf.

Lokasi sawah tersebut berada di kaki Gunung Sari dengan batas-batas yang tercantum dalam surat jual beli sebagai berikut: Sebelah Timur berbatasan dengan Abdul Madjid Kerinci (kaki Gunung Sari), Sebelah Barat berbatasan dengan Pepulau Balak, Sebelah Utara berbatasan dengan Abdullah, dan Sebelah Selatan berbatasan dengan sawah Maimanah Saleh. (Arnandes)