BANDARLAMPUNG -(deklarasinews.com)- Universitas Lampung (Unila) melalui Proyek HARVEST (Higher Education Leadership on Agricultural and Food Rights for Environmental Sustainability) menyelenggarakan focus group discussion (FGD) bertajuk “Sustainable Agriculture and Innovative Teaching Method”, pada Jumat, 2 Mei 2025, pukul 08.30–11.30 wib, di Gedung H (food court) lantai dua, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Kegiatan dihadiri perwakilan berbagai sektor, seperti UPTD Balai Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan (BPMKP) Provinsi Lampung, sektor industri, komunitas seperti Aliansi Petani Organik Lampung (APOL), NGO Mitra Bentala, Wonderfarm, serta sejumlah akademisi dan mahasiswa dari Unila dan Politeknik Negeri Lampung.
FGD ini bertujuan untuk mendiskusikan hasil survei sebelumnya dan menghimpun masukan dari para pemangku kepentingan di bidang pertanian, pangan, dan pendidikan tinggi. Diskusi difokuskan pada tantangan dan peluang sistem pertanian berkelanjutan, kesiapan lulusan perguruan tinggi menghadapi pasar kerja, serta pengembangan metode pengajaran inovatif yang relevan di Asia Tenggara dan Eropa.
Sejumlah isu krusial mengemuka, Perwakilan APOL menyoroti tantangan utama dalam pertanian organik adalah pola pikir petani yang masih belum terbuka terhadap pembelajaran berkelanjutan. Wonderfarm menambahkan, masih banyak petani yang tidak peduli terhadap dampak lingkungan dari praktik pertanian mereka, dan lebih berorientasi pada hasil.
Sementara itu, Aliansi Organis Indonesia (AOI) menekankan pentingnya pembaruan indikator keberlanjutan agar tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga mencakup aspek lingkungan dan sosial. AOI juga menyatakan, minimnya pemahaman lulusan terhadap prinsip keberlanjutan menjadi keluhan dari dunia kerja.
Dari pihak pemerintah, disampaikan bahwa masih ditemukan kandungan pestisida dan logam berat dalam produk pertanian lokal. Pemerintah mendorong pelibatan generasi muda, termasuk mahasiswa, dalam pemantauan kualitas produk. Walaupun bantuan kepada petani telah diarahkan pada pupuk organik, mindset petani masih sulit diubah karena hasilnya tidak instan.
Pemerintah juga menegaskan, keberhasilan program pertanian organik membutuhkan kerja sama lintas sektor. Dari akademisi, Perwakilan dari Agronomi Unila menyampaikan, meskipun terdapat mata kuliah terkait teknologi pertanian organik, fokus utama kurikulum masih berada pada aspek produktivitas.
Polinela menambahkan, mereka membuka program D-2 Pertanian Organik dan mewajibkan sertifikasi pendamping ijazah, namun minimnya peminat masih menjadi tantangan. Perwakilan dari FISIP Unila mendorong agar pendekatan keberlanjutan disisipkan ke dalam kurikulum, terutama pada mata kuliah penciri, serta memperluas riset mengenai ketahanan pangan dan iklim dari perspektif hubungan internasional.
Terkait kompetensi lulusan, FGD merumuskan tiga kompetensi utama yang dibutuhkan: pertama, pemahaman komprehensif mengenai praktik dan filosofi pertanian organik, tidak hanya teknis tetapi juga dampaknya pada kehidupan sosial (disampaikan oleh APOL dan Wonderfarm); kedua, penguasaan teknologi serta keterampilan pemetaan sosial sebelum mahasiswa terjun ke lapangan (Mitra Bentala); dan ketiga, pemahaman standar sosial, kemampuan komunikasi lintas pihak, serta sertifikasi profesional yang relevan untuk menunjang daya saing lulusan di dunia kerja (AOI, SRE, dan Ruang Pangan).
Dalam aspek kolaborasi, seluruh peserta FGD menegaskan pentingnya sinergi antara perguruan tinggi, pemerintah, komunitas, dan sektor industri. Polinela menekankan pentingnya kolaborasi sejak pendidikan vokasional, sementara Agronomi Unila mengusulkan co-sharing dalam proyek dan riset bersama. FISIP Unila menambahkan, pengembangan modul pembelajaran dalam proyek HARVEST dapat memperkaya kurikulum berorientasi keberlanjutan lintas disiplin.
Pemerintah pun telah menjalin kerja sama dengan institusi pendidikan untuk kegiatan magang mahasiswa dan berharap kolaborasi tersebut dapat diperluas. “Harapannya, laporan FGD yang dibuat dari berbagai perspektif yang terhimpun ini dapat bermanfaat untuk semua stakeholders,” ujar Indra Jaya Wiranata, Project Manager HARVEST Unila.
Proyek HARVEST sendiri merupakan kolaborasi lintas negara yang bertujuan memperkuat peran pendidikan tinggi dalam mendukung sistem pertanian dan pangan yang adil, inklusif, dan berkelanjutan di kawasan Asia Tenggara dan Eropa. Hasil dari FGD ini akan digunakan untuk menyusun laporan Competence and Knowledge Gap sebagai dasar pengembangan micro-course yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan prioritas keberlanjutan kawasan.(Red)